Kumpulan tulisan yang dirangkum oleh Khairil Miswar dengan judul Syari‘at dan Apa Ta‘a ini menarik untuk dibaca. Ianya bukan sekadar tulisan pelipur lara atau pun pleoh breon, tapi sebuah refleksi dari dinamika kehidupan nyata pada satu rentang masa di wilayah ini. Nampaknya buku ini lanjutan dari bukunya yang pertama Habis Sesat Terbitlah Stres yang terbit tahun lalu (2017). Ketika buku Pertama berisi rekaman sejumlah suasana yang dimulai tahun 2011, demikian juga untuk buku yang kedua ini. Keduanya mengandung satu reportase dan analisis sejumlah proses dan dinamika prilaku keberagama-an masyarakat Aceh dalam rentang waktu 2011 sampai dengan 2017. Dalam proses dan dinamika tersebut telah berperan, terlibat, dilibatkan, atau melibatkan diri sejumlah unsur masyarakat itu sendiri: ulama, umara, dan ‘awam, yang dalam buku ini diparodikan sebagai ungkapan “apa ta‘a.” Dengan istilah apa ta‘a maka yang biasa dipahami di Aceh adalah ‘awam yang paling ‘awam. Kalau di India ada Kasta Sudra, Harijan, maka apa ta‘a seolah berada dalam orde tersebut, walaupun tentu dalam setting social yang berbeda. Di sinilah kegelisahan Khairil Miswar terhadap beberapa suasana di mana dijumpai ada subjek hukum, mukallaf yang terzalimi di Aceh, bahkan korban segala keganasan, namun sayangnya itu terjadi atas nama “syari‘ah.”. Dari sejumlah 60 buah artikel yang dikumpulkan dalam koleksi ini, mulai “Syari‘at dan Apa Ta‘a” sampai dengan “Propaganda Ruwaibidhah” memberi kesan, adanya kegelisahan pada belum bersihnya pemahaman dan penerapan syari‘at Islam di Aceh selama ini.

Akhir-akhir ini, Indonesia didera oleh persoalan intoleransi yang semakin tajam. Aksi-aksi intoleran terus bermunculan bagai jamur di musim hujan. Aceh sebagai salah satu provinsi yang telah menerapkan syariat Islam pun tidak luput dari aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh kalangan tertentu. Aksi-aksi ini terus bermunculan di beberapa tempat di Aceh yang pada puncaknya telah melahirkan gerakan massa. Kemunculan aksi-aksi intoleran di Aceh tentunya tidak terlepas dari kondisi sosial politik Aceh yang baru saja keluar dari konflik panjang. Disadari atau pun tidak, aksi-aksi ini telah mengganggu keharmonisan dan juga memunculkan gejolak sosial di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk bijak dalam menyikapi perdebatan tentang siapa yang lebih mewakili Islam di Aceh. Sikap sikap memonopoli kebenaran harus dihentikan. Melalui buku ini, Khairil Miswar mencoba merangkum berbagai fenomena sosial keagamaan yang berlangsung pasca konflik Aceh. Penulis buku ini merupakan intelektual muda yang konsisten memberikan pemikiran-pemikiran tajam terkait aksi-aksi intoleran atas nama agama di Aceh. Dan ini adalah sebuah pekerjaan besar yang tentunya patut dihargai. Buku ini merangkum kumpulan tulisan penulis yang tersebar di beberapa media. Sebagai sebuah kumpulan tulisan, tentunya pembaca juga diajak untuk sedikit kembali ke belakang terkait berbagai fenomena sosial keagamaan yang muncul di Aceh Padebook sebagai penerbit yang berkomitmen untuk menyuarakan segala hal dengan berimbang merasa berkepentingan menerbitkan buku ini guna mengisi beberapa ruang kosong yang ditinggalkan oleh penulis lain, tentunya dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar akademik.

DEMOKRASI selalu saja identik dengan kebebasan. Dalam praktiknya sebagian oknum politisi menafsirkan kebebasan ini dalam perspektif yang cukup liberal, di mana penghalalan segala cara di pentas demokrasi telah dianggap wajar, untuk tidak menyebut sebuah keharusan dan strategi paling efektif untuk duduk di tampuk kekuasaan. Buku ini mencoba menggambarkan berbagai trik dan intrik yang diperankan oleh oknum tertentu dalam realitas demokrasi kita, khususnya dalam konteks kekinian. Apa yang tersaji dalam buku ini sebagiannya mungkin telah kita saksikan, rasakan atau perankan bersama. Ditulis dengan pendekatan bahasa yang sedikit sarkas dan satir mengikut gejolak rasa si penulis. Oleh sebab itu buku ini layak dibaca politisi, tim suskes dan bahkan masyarakat umum. Cara terbaik membaca buku ini adalah dengan pola santai tanpa perlu mengernyitkan dahi.

Dalam bahasa Indonesia, jampok dikenal dengan nama burung hantu. Di Aceh istilah jampoek ini kerap dilekatkan kepada orang-orang yang suka memuji diri dan bangga dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Nantinya dalam buku ini pembaca akan menemukan beberapa fenomena Senandung Jampoek yang diperankan oleh sebagian orang Aceh.